2.1 Pendahuluan
Baja adalah bahan dasar vital untuk
industri. Semua segmen kehidupan, mulai dari peralatan dapur, transportasi,
generator pembangkit listrik, sampai kerangka gedung dan jembatan menggunakan
baja. Eksploitasi besi baja menduduki peringkat pertama di antara barang
tambang logam dan produknya melingkupi hampir 95 persen dari produk barang
berbahan logam.
Belakangan dunia perindustrian
digemparkan oleh kabar peningkatan performan (kekuatan dan umur) baja menjadi
dua kali lipat. Untuk mendapatkan baja dengan kekuatan sama dengan yang
konvensional, hanya perlu setengah dari bahan sebelumnya dengan ketebalan dan
berat juga setengahnya.
Baja super ini diperoleh dengan
menghaluskan struktur mikronya menjadi seperlima dari baja sebelumnya atau
bahkan lebih kecil lagi (di bawah 1 mikrometer). Nakayama Steel, sebuah
perusahaan di Jepang, telah berhasil memproduksi lembaran baja super dengan
kekuatan tarik 600 MPa atau sekitar 1,5 kali kekuatan tarik baja biasa.
Kenaikan performan baja diharapkan
dapat mengurangi berat bahan sehingga meningkatkan efisiensi dan menghemat
sumber daya alam.
2.1.1
Nilai ekonomi dan sejarah
Baja adalah paduan logam yang tersusun
dari besi sebagai unsur utama dan karbon sebagai unsur penguat. Unsur karbon inilah
yang banyak berperan dalam peningkatan performan. Perlakuan panas dapat
mengubah sifat baja dari lunak seperti kawat menjadi keras seperti pisau.
Penyebabnya adalah perlakuan panas mengubah struktur mikro besi yang
berubah-ubah dari susunan kristal berbentuk kubik berpusat ruang menjadi kubik
berpusat sisi atau heksagonal.
Dengan perubahan struktur kristal,
besi adakalanya memiliki sifat magnetik dan adakalanya tidak. Besi memang bahan
bersifat unik.
Bijih besi bertebaran hampir di
seluruh permukaan Bumi dalam bentuk oksida besi. Meskipun inti Bumi tersusun
dari logam besi dan nikel, oksida besi yang ada di permukaan Bumi tidak berasal
darinya, melainkan dari meteor yang jatuh ke Bumi.
Di Australia, Brasil, dan Kanada,
ditemukan bongkahan bijih besi berketebalan beberapa puluh meter dan mengandung
65 persen besi. Besi adalah unsur yang sangat stabil dan merupakan unsur
terbanyak ke delapan di Jagat Raya setelah silikon. Pada lapisan kulit Bumi,
besi merupakan unsur logam terbanyak ketiga setelah silikon dan aluminium.
Hampir lebih dari 70 abad lalu-5.000
tahun sebelum Masehi-dari peninggalan di Mesopotania, Iran, dan Mesir diketahui
bahwa manusia telah menguasai teknologi pembuatan peralatan dari besi baja
untuk berburu.
Suku Hatti dan Hittite 2.500-1.500
tahun sebelum Masehi-di daerah Anatria dan Armenia telah berhasil membuat
pedang besi berukuran besar dan baju besi dengan proses semi-lebur.
2.1.2
Proses pembuatan baja
Dewasa ini, besi kasar diproduksi
dengan menggunakan blast furnace (dapur bijih besi) yang berisi kokas pada
lapisan paling bawah, kemudian batu kapur dan bijih besi. Kokas terbakar dan
menghasilkan gas CO yang naik ke atas sambil mereduksi oksida besi. Besi yang
telah tereduksi melebur dan terkumpul di bawah tanur menjadi besi kasar yang
biasanya mengandung C, Si, Mn, P, dan S. Kemudian leburan besi dipindahkan ke
tungku lain (converter) dan diembuskan gas oksigen untuk mengurangi kandungan
karbon.
Dengan cara ini dapat diproses besi
kasar menjadi baja sebanyak kurang lebih 300 ton dalam waktu 15-20 menit.
Untuk menghilangkan kembali kandungan
oksigen dalam baja cair, ditambahkan Al, Si, dan Mn. Proses ini disebut
dioksidasi. Setelah dioksidasi, baja cair dialirkan dalam mesin cetakan kontinu
berupa slab atau dicor dalam cetakan berupa ingot. Slab dan ingot itu diproses
dengan penempaan panas, rolling panas, penempaan dingin, perlakuan panas,
pengerasan permukaan dan lain-lain untuk dibentuk menjadi sebuah produk atau
kerangka dasar dari sebuah produk.
2.1.3
Baja dalam kehidupan
Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya
keberadaan baja diabaikan karena kebanyakan dilapisi bahan lain. Orang baru
menyadarinya ketika menyentuh benda dingin dan keras seperti lemari es, meja
belajar, kursi, dan tiang listrik.
Pada bidang konstruksi dan tata kota,
kekuatan baja yang dapat menyangga beban berat digunakan untuk kerangka
bangunan pencakar langit sampai ketinggian 450 meter, seperti Petronas Twin
Towers di Malaysia. Baja juga tahan terhadap perpatahan sehingga dapat
melindungi dari gangguan gempa.
Ratusan ton baja juga digunakan untuk
pembangunan jembatan antar pulau sampai berjarak lebih dari satu kilometer,
seperti jembatan Kanmonbashi di Jepang.
Jadi, baja telah menyatu dalam
kehidupan manusia dan menjadi penopang utama seluruh aktivitas dalam proses
produksi sehingga tidak dapat dipisahkan dari masyarakat industri. Suatu bangsa
tidak akan dapat membangun kekuatan industri tanpa memiliki industri baja dan
teknologinya.
2.1.4
Baja di Indonesia
Menurut penelitian jumlah konsumsi
baja suatu bangsa dapat dijadikan indikator tingkat kemajuan dan kesejahteraan
bangsa. Negara-negara maju umumnya mengonsumsi 700 kilogram baja per jiwa per
tahun. Masyarakat Indonesia baru mengonsumsi 20 kilogram per jiwa. Ini berarti
baja masih belum dirasakan keberadaannya oleh masyarakat Indonesia.
Baja dengan nilai ekonomi tinggi dan
berfungsi vital masih belum mendapat perhatian dengan baik oleh pemerintah.
Maka, daya dukung baja terhadap kinerja dan performan proses produksi sangat
lemah. Dampaknya, produk-produk Indonesia belum bisa berkompetisi dengan produk
dari negara lain baik dalam jumlah produksi, kualitas, dan ketepatan waktu
penyebarannya.
Indonesia yang dikenal kaya sumber
daya alam harus mengimpor 100 persen bahan baku baja (pellet) dan 60-70 persen
scrap baja untuk keperluan industri bajanya. Ini masih ditambah teknologi
pengolahan baja yang tidak efisien karena menggunakan sumber energi gas yang
semakin meningkat harganya serta teknologi yang masih tergantung kepada negara
pemberi lisensinya.
Dari hasil survei, diketahui bahwa
cadangan bijih besi di Indonesia berjumlah cukup besar dan tersebar di beberapa
pulau, seperti Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Irian Jaya dengan
total melebihi 1.300 juta ton, meskipun dengan kadar kandungan besi yang masih
rendah antara 35-58 persen Fe. Sementara itu, bahan pendukung, seperti batu
bara dan kapur, juga melimpah di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Cadangan ini
dapat memenuhi konsumsi besi baja dalam negeri sekitar 2,5 ton per jiwa.
Berarti Indonesia punya modal menjadi masyarakat berbasis industri.
Permasalahannya hanyalah bagaimana
menciptakan teknologi peleburan bijih besi yang sedikit lebih rendah kadar
besinya. Pemerintah harus segera membentuk tim khusus pengembangan
teknologinya. Kalau Jepang yang di masa Perang Dunia II tak punya bijih besi
kini mampu berkembang, Indonesia tentu bisa lebih baik.
Dewasa ini, pengembangan teknologi
manufaktur besi baja sudah sangat berkembang di beberapa negara maju, tinggal
bagaimana mentransfer atau "mencuri" teknologi tersebut dan
diterapkan di Indonesia.